Sebenarnya sudah lama saya selesai membaca novel Perahu Kertas.
 Novel yang berhasil memikat saya dengan penokohan si Kugy. Gadis kecil,
 imut, cerdas, periang, baik, pekerja keras, kucel, cuek, dan seabreg 
sifat baik dalam dirinya.
*ah, seandainya saya bisa seperti Kugy*
Singkat
 cerita, ada satu kebiasaan Kugy yang unik. Kugy sering mengirimkan 
surat untuk Dewa Neptunus lewat aliran air, di manapun aliran itu 
berada. Meski lambat laun ia sadar, surat yang  dikirimnya tidak pernah 
sampai ke tangan Dewa Neptunus. Tapi Kugy tetap saja mengirimkan surat 
ke Dewa Neptunus.
Fufufufu... Dasar aneh!
Kugy juga 
penutur sekaligus penulis dongeng yang piawai. Dia punya ambisi menjadi 
penulis dongeng. Sayangnya, ambisi ini harus dipupusnya karena 
orang-orang di sekitarnya menganggap profesi sebagai penulis dongeng itu
 tidak realistis. Meski demikian, menulis dongeng tetap jalan terus!
Dalam
 perjalanan hidupnya, Kugy bertemu dengan seorang cowok bernama Keenan. 
Proses perkenalan yang unik dan tentu saja aneh sekaligus nyeleneh.
Keenan
 cowok pendiam, unik, nyentrik ini memang setali tiga uang dengan Kugy. 
Keenan memiliki hobi melukis dan berambisi menjadi pelukis. Sayangnya, 
tidak jauh beda dengan Kugy, Keenan pun terpaksa harus memupus ambisinya
 sebagai pelukis karena dia justru masuk di Fakultas Ekonomi. Apalagi 
ayah Keenan menentang keras ambisinya menjadi seorang pelukis.
Hmmmm...
Tapi,
 semua rasa pesimistis itu lenyap ketika keduanya bertemu. Tanpa 
disadari mereka saling menguatkan, saling memberi motivasi bahwa impian 
mereka bisa terwujud.
Meminjam istilahnya Agnes Monica, 'tidak 
ada mimpi yang berlebihan'. Begitulah kira-kira.  Dan untuk mewujudkan 
impiannya, mereka saling melengkapi untuk terus berkarya dengan keahlian
 masing-masing tentunya.
Begitulah kira-kira sepenggal kisah 
antara Kugy dan Keenan di awal novel tersebut. Novel ini begitu menarik 
dan mengajak pembacanya seolah terlibat dalam segala bentuk cinta. Ya, 
cinta. Cinta antara sepasang kekasih, kepada orang tua, adik, sahabat, 
dan orang-orang sekelilingnya.
Perasaan pembaca seperti diaduk-aduk. 
Sebentar tertawa, sebentar bisa jadi sangat sedih karena Dewi 'Dee' 
Lestari begitu piawai mengatur narasi. Meloncat dari penggalan kisah ke 
kisah lainnya yang saling terhubung.
Dengan bahasa yang 'renyah', 
novel ini kaya akan frasa-frasa menarik dan menggelitik. Humor yang 
tidak garing, juga kalimat bijak yang tidak menggurui.
Membaca novel ini memberi spirit tersendiri bagi pembaca agar tidak patah semangat demi mewujudkan sebuah impian.
Namun,
 tidak ubahnya sebuah karya, novel ini juga memiliki kelemahan. Pendapat
 pribadi saya, ada beberapa bagian yang membosankan untuk diresapi, 
terutama pada penuturan tentang perayaan tahun baru. Di bagian ini, baik
 Kugy maupun Keenan selalu ditautkan seolah ada indera keenam atau 
telepati hingga apa yang Kugy rasakan, sama seperti yang Keenan rasa.
Tapi, ini sah-sah saja untuk sebuah karya fiksi berupa novel.
Di
 bagian terakhir, saya juga kurang begitu senang karena penyelesaiannya 
seperti cerita-cerita dalam sinetron. Walaupun happy ending, tapi saya 
merasa kurang mendapatkan 'feel-nya' ketika Keenan pergi ke pantai dan pada saat bersamaan Kugy juga datang ke pantai tersebut.
Endingnya
 terkesan dipaksakan. Karena memang dari awal, cerita di novel ini 
seperti diplot agar Kugy dan Keenan selalu tersambung dengan telepati 
atau dalam bahasanya Dee disebut 'radar neptunus'.
Sekali lagi ini pun sah-sah saja...
Terlepas dari itu semua, novel ini recommended laaah untuk dibaca. Tertarik untuk membeli??
NB: Saya sengaja tidak menyinggung tokoh lainnya karena fokus saya memang hanya pada Kugy dan Keenan.

